Ibadah Qurban yang dilaksanakan pada setiap
hari Raya Idul Adha bukan sekedar menyembelih hewan, tapi lebih menyembelih
ego, cinta dunia, dan nafsu yang menghalangi ketataan. Hidup di era zaman
manusia modern, semakin kurangnya minat berqurban karena lebih mencintai
kenyamanan, harta, dan ego dibanding nilai spiritual dan penghambaan kepada
Tuhan.
Budaya mementingkan diri sendiri dari pada kepentingan bersama (individualistik) dan sifat suka mengonsumsi secara berlebihan (konsumtif) telah menjadi lifestyle (gaya hidup) masa kini. Alih-alih menambahkan semangat spiritual, qurban hanya dipandang sebagai beban biaya atau tradisi tahunan, sehingga orang merasa tidak butuh makna berqurban.
Padahal ibadah Qurban sudah menjadi tradisi baik di Indonesia, dan sudah menjadi kebiasaan baik di daerah tertentu seperti tradisi Kaul dan Abda’u di Negeri Tulehu, Maluku Tengah, tradisi ini dilaksanakan setelah warga Maluku menunaikan sholat Idul Adha, sebelum menyembelih, tiga kambing yang akan disembelih, pemuka agama akan menggendong kambing sembelihan itu dengan menggunakan kain, layaknya menggendong anak kecil, kambing-kambing ini di arak mengelili desa sambil diiringi alunan takbir dan shalawat menuju masjid.
Ada juga tradisi Maccera’ Bola di daerah Pangkep Sulawesi Selatan, tradisi ini dimulai dengan membersihkan rumah adat setelah itu membaca zikir dan doa bersama akhirnya ditutup dengan pemotongan hewan sembelih yang dimana hewan itu akan dibagi-bagikan kepada orang yang berhak sebagai bentuk rasa kebersamaan dan syukur kepada Allah swt.
Tentunya begitu besar pelajaran yang bisa diamalkan dalam pelaksanaan ibadah qurban. Menciptakan budaya keluarga dan masyarakat yang menghidupkan nilai-nilai pengorbanan dan kedekatan kepada Allah swt, bukan hanya formalitas dalam ibadah. Lebih jauh lagi, mari kita pahami, apa itu ibadah Qurban?.
Kata Qurban (قربان) diambil dari kata Qaruba (قرب)yang berarti “dekat”. Secara bahasa Qurban adalah sesuatu yang didekatkan atau dipersembahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
القربان من قرب، وهو ما يُقرب إلى الله تعالى
Artinya : “Qurban berasal dari kata “Qaruba” (dekat), yaitu sesuatu yang didekatkan kepada Allah swt,” (Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, [Beirut: Daar Sadir, 1998] hal. 120).
Sehingga dapat dipahami, bahwa ibadah Qurban merupakan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah swt, dengan mengalirkan darah binatang yang disembelih, semua itu juga termasuk adalah bentuk persembahan totalitas perserahan diri kepada Allah swt.
Di dalam Al-Quran, terdapat kisah perintah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail as, yang menjadi asal usul ibadah qurban tersebut disyariatkannya.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى
الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ
مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ. فَلَمَّآ
اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ. وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُۙ. قَدْ
صَدَّقْتَ الرُّؤْيَاۚ اِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ. اِنَّ هٰذَا
لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ. وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ
Artinya : “Ketika anak itu sampai pada
(umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku,
sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?”
Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah)
kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar. Ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) meletakkan pelipis
anaknya di atas gundukan (untuk melaksanakan perintah Allah). Kami memanggil
dia, “Wahai Ibrahim, sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami menebusnya dengan
seekor (hewan) sembelihan yang besar.” (QS. As-Shaffat : 102-107)
Tentunya
syariat yang telah ditentukan memiliki hikmah untuk menjadi renungan di dalam
kehidupan umat Islam pada saat ini. Secara jelas para ulama Tafsir membahas dan
membagi makna yang terkandung di setiap ayat-ayat tersebut,
Pertama, para ulama Tafsir menyatakan bahwa mimpi yang didapati oleh nabi Ibrahim as, merupakan bentuk perintah yang harus dilaksanakan dan dikerjakan, sebagai sesosok ayah yang merasakan kedekatan dengan anak, perintah itu dirasa sangat mustahil untuk dilaksanakan, tentunya Nabi Ibrahim tidak tega untuk membunuh dan mengorbankan anaknya yang telah ia besarkan selama ini.
Ketegasan hati Nabi Ibrahim dengan keyakinan bahwa ini adalah perintah yang terbaik untuk dilaksanakan oleh seorang nabi. Imam Qurthubi menambahkan di dalam tafsirnya bahwa mimpi perintah penyembelihan itu merupakan perintah dari Allah, dan sudah diketahui oleh Nabi Ibrahim bahwa itu wahyu dari Allah untuk dirinya, sehingga dengan penuh keyakinan Nabi Ibrahim menjalankan perintah tersebut bersama putranya Nabi Ismail.
وَالرُّؤيا لِلنَّبِيِّ وَحْيٌ، فَلَمَّا رَآهَا إِبْرَاهِيمُ عَلِمَ
أَنَّهَا أَمْرٌ مِنَ اللَّهِ فِي ذَبْحِ ابْنِهِ، وَالْمَقْصُودُ بِهِ
إِسْمَاعِيلُ عَلَى الصَّحِيحِ
Artinya : “Mimpi bagi seorang nabi adalah wahyu; ketika Ibrahim melihatnya, ia tahu itu perintah Allah untuk menyembelih putranya—yang dimaksud adalah Ismail menurut pendapat sahih.” (Al‑Qurṭubî, Al‑Jāmiʿ li‑Aḥkām al‑Qurʾān, Juz 15, [Kairo, Dār al‑Kutub al‑Miṣriyyah 1964], cet. 2, Hal. 10
Kedua, Nabi Ibrahim tidak serta merta memaksakan perintah Allah, tetapi mengajak berdiskusi dengan anaknya Nabi Ismail as. Pelajaran dengan kasih sayang dan komunikasi bukan arti pemaksaan, ini semua adalah pendidikan dalam membina keluarga yang dibutuhkan zaman sekarang.
Anak bisa menjadi teladan yang baik jika dibimbing dengan nilai-nilai ilahiyah, layaknya Nabi Ismail as. Ketaatan penuh kepada Allah swt, melalui perintah ayahnya, meskipun itu perintah yang sangat berat. Ini menunjukan bahwa tingginya derajat iman dan sabarnya.
Baik Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as, menunjukan bahwa iman yang kuat menjadikan seseorang siap menghadapi ujian berat. Tidak ada ucapan protes maupun bantahan untuk tidak melaksanakan, hanya keyakinan bahwa perintah Allah adalah yang terbaik, keimanan seperti ini yang harus ditanamkan umat Islam di era materialistik zaman sekarang, melihat ketika banyak orang tergoyahkan oleh ujian kecil.
Menurut Quraish Shihab di dalam tafsirnya Al-Mishbah menekan ketaatan bersama (orang tua dan anak) demi mendapatkan cinta Ilahi. Tidak ada kepentingan masing-masing diantara orang tua dan anak, sehingga semua itu dikembalikan kepada keinginan sang-pencipta. Beliau menambahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah sampai pada puncak bahwa kasih kepada Allah harus di atas kasih siapapun.
“Maka tanpa
ragu dan menunda-nunda tatkala keduanya telah berserah diri secara penuh
dan tulus kepada Allah swt, dan ia yakni Ibrahim as, membaringkan
anak-nya atas pelipis-nya, sebagaimana binatang yang akan
disembelih, maka ketika itu terbuktilah kesabaran keduanya, pisau yang demikian
tajam – atas kuasa kami – tidak melukai sang anak sedikit pun.” (Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, [Jakarta
: Lentera Hati, 2005], Volume 12, Hal. 64)
Ketiga, Meneguhkan keimanan
dalam keadaan ujian, merupakan cobaan yang terbesar yang dihadapi oleh
siapapun. Ketika dalam terlilit hutang ditimpa lagi dengan kebutuhan membayar
biaya rumah sakit atas penderitaan penyakit yang di alami oleh anak atau orang
tua, itu merupakan keadaan yang sangat menggoyahkan keimanan dan tidak semua
dari orang yang sanggup merasakan keadaan seperti contoh di atas.
Setelah sampai pada puncak ujian
yang di alami oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dan tentunya Nabi Ibrahim dan
Nabi Ismail sudah akan melakukan atas perintah dari Allah swt, lantas, Allah
swt, menangguhkan ujian tersebut, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sudah sampai
pada puncak perintah.
Seperti kisah yang penuh histeris
ini, yang sangat dramatis yang terjadi pada Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi
Ismail as. Ketika keimanan dan keyakinan sudah memuncak dalam jiwa, ia mampu
menjatuhkan segala kebutuhan duniawi bahkan yang bersifat rasionalitas. Meski
rasio tidak menerima akan tindakan ayah untuk menyembelih anaknya, namun
keimanan lebih dikedepankan dari semuanya.
Setelah semua kisah itu selesai,
sangat terlihat kesabaran dan ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail. Oleh karenanya
Allah tidak menginginkan penyembelihan itu terjadi, bahkan melarang dan
mengganti qurbannya dengan seekor kambing.
Menurut Syekh Jalaluddin Al-Mahalli
dalam kitab Tafsir Al-Quran al-Karim, kambing yang digunakan sebagai
ganti dari penyembelihan tersebut merupakan sembelihan yang agung (dzibhul
azhim), karena sebenarnya, kambing itu merupakan qurban Habil yang diangkat
ke langit, saat Allah memerintahkannya untuk melaksanakan qurban, lalu
digembalakan di Surga untuk waktu yang sangat lama.
وفديناه أي المأمور بذبحه، وهو إسماعيل
أو إسحاق قولان «بذبح» بكبش «عظيم» من الجنة وهو الذي قربه هابيل جاء به جبريل
عليه السلام فذبحه السيد إبراهيم مكبرا
Artinya : “Dan kami menebusnya – yakni mengganti Ismail, menurut pendapat mayoritas, “dengan sembelihan yang besar” – yaitu seekor kambing jantan yang besar yang diturunkan dari syurga, dan menurut sebagian pendapat, pernah diqurbankan oleh Habil, kemudian disimpan di syurga hingga saat ini. (Jalalaluddin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, [Damaskus, Daar Ibnu Katsir, 2000 M] Hal. 450)
Kesimpulannya, kisah ini bukan hanya alur sejarah, tetapi cerminan spiritual yang relevan lintas zaman. Ia mengajak manusia modern yang timbul sifat mementingkan diri sendiri untuk menemukan makna hidup, pentingnya pengorbanan dan kepatuhan kepada nilai yang lebih tinggi, yaitu kepada Allah swt, dan kebaikan bersama. Kehidupan modern yang penuh dengan tekanan ekonomi, eksistensi, teknologi, dan krisis identitas, harus di hadapi dengan kekuatan spiritual keimanan yang kuat dan sabar. Agar pada saat manusia berada di puncak ujian, Allah menunjukan kasih sayang-Nya. Ini menjadi pengingat bahwa selalu ada ruang untuk harapan dan keajaiban, semua itu dibutuhkan manusia modern yang sering merasa hampa dan putus asa.
Posting Komentar